Daun yang Jatuh

on Kamis, 29 Agustus 2013
            Aku terlahir dari pasangan pengidap HIV.Penyakit itu telah membunuh ayahku dan sekarang aku adalah anak yatim yang juga pengidap penyakit menjijikkan itu. Aku bingung kenapa orang-orang pengidap HIV tidak pernah mendapat perlakuan baik dari masyarakat, selalu mendapat diskriminasi dan dikucilkan dalam pergaulan, sehina itukah kami ?
            Aku melirik lesu amplop berwarna coklat yang kubawa dari rumah sakit bertuliskan ”Pasien Shabira Alsyakhra” di dalamnya ada hasil tes yang menyatakan penyakit HIV yang kuidap sudah memasuki stadium 2.  Obat-obatan itu tidak menyembuhkanku kadang aku benci harus meminumnya hanya untuk bertahan hidup. “Hey Ibu sudah siapkan makan malam, cepatlah makan dan minum obatnya!” terdengar suara ibu dari ujung pintu, akupun beranjak dan meninggalkan amplop yang sama sekali tidak membawa kabar gembira itu. “Bagaimana sekolah baru hari ini? Apa kau sudah mendapat teman baru?” tanya ibu di sela waktu makan. “Ya tidak banyak.” jawabku singkat. “Cukup menyenangkan, ibu senang dipindah tugaskan ke sini. Hmm.. Bandung kota yang cukup sejuk.” . “Ya cukup menyenangkan selama penyakit ini tidak merusaknya.”. Ibu menghela nafas dan tersenyum “Kau pasti bisa menjadi seperti anak normal lainnya nak, bahkan lebih hebat.”. “Ya semoga saja.”
            “Hai selamat pagi.” sapa seorang anak lelaki yang aku lupa namanya siapa. “Selamat Pagi...,” aku berusaha mengingat namanya. “Donny!” anak itu mengingatkan lagi namanya padaku seolah dia telah membaca pikiranku kalau aku sedang berusaha mengingat namanya. “Hm.. Maaf aku belum terlalu hafal nama-nama kalian.” . “Tidak masalah, kami semua akan berteman denganmu lama-lama kau pasti hafal.”  Ya aku harap begitu pikirku.
            Jam pelajaran pertama diawali dengan mata pelajaran olahraga, sialnya aku tidak membawa obat yang seharusnya aku minum setiap akan berolahraga untuk menjaga kondisiku agar tidak mudah kelelahan. “Hei Shab apa yang kau tunggu? Guru yang satu ini tidak suka ada murid yang telat datang di pelajarannya. Ayo segera ke lapangan!” Wina sang ketua kelas itu buru-buru menarikku keluar kelas. Kota ini memang sejuk, dengan sedikit terik matahari pagi yang berbagi kehangatannya, ah cuaca yang sempurna aku harap pelajaran ini akan kulewati dengan sempurna pula.
            Yah aku tahu aku tetap kuat tanpa obat, pelajaran olahraga kulewati tanpa kendala. Saat jam istirahat Farah mengajakku ke kantin bersama Elsa, ternyata menyenangkan ada yang mengajakku pergi ke kanti bersama, dulu saat aku masih bersekolah di Yogyakarta untuk kerja kelompok pun orang jijik karena penyakitku, ada yang takut tertular ada juga yang menganggapku bukan anak baik-baik karena aku adalah seorang penderita HIV. Sering aku meberontak diperlakukan seperti itu tapi semua itu tidak ada gunanya.
            “Shab kau mau makan apa? “  tanya Elsa saat ia dan Farah akan memesan makanan. “Aku tidak lapar. Aku hanya mau minum.” jawabku sambil tersenyum ramah. “Baiklah.” mereka beranjak pergi untuk memesan makanan mereka sementara itu aku segera mengeluarkan obat dari sakuku lalu meminumnya sebelum mereka melihatku dan bertanya tentang obat ini. “Hei... Kau minum obat apa? Banyak sekali?” aku tidak sadari kalau Donny duduk di belakang meja kami, oh tidak, aku harus bilang apa soal obat ini? “Ehm.. Yang ini vitamin imun tubuh, yang ini antibiotik, dan ini obat flu biasa. Aku memang sedang sedikit flu” jelasku berusaha menutupi tentang obat ini. “Baiklah, kalau begitu semoga lekas sembuh.” tanggapnya dengan senyum yang membuat lesung pipinya terlihat. Aku beruntung hari ini.
            Jam sekolah telah usai, hari ini terasa begitu melelahkan. Aku berjalan keluar gerbang sekolah dan segera menuju halte bus yang terletak sekitar 20 meter dari sekolah. Hari ini aku akan mengunjungi ibu di rumah sakit kejiwaan. Aku ingin melihat bagaimana ibu bisa bekerja dengan baik sebagai seorang psikolog. Selama ini aku hanya terlalu sedih dan frustasi dengan penyakitku sehingga bagaimana pekerjaan ibuku pun aku sama sekali tidak ingin tahu. Sekarang aku ingin mengubah sikapku, apa salahnya aku berkonsultasi dengan ibuku sendiri. Kepalaku terasa sangat pusing, tubuhku sangat lemas hingga akhirnya aku terjatuh.
            Aku lihat seorang anak bertubuh jangkung dan ia adalah Donny.“Sadar juga kau. Tadi aku menemukanmu pingsan di pinggir trotoar, jadi aku segera membawamu ke rumah sakit terdekat.” Aku hanya diam memikirkan apa yang barusan terjadi, aku pikir aku akan melewati hari ini dengan begitu sempurna, “Soal penyakitmu..,” oh tidak hancurlah semuanya, “Aku sekarang mengerti mengapa kau menutupi soal penyakitmu.”  ujarnya dengan mata lirih. “Jadi kenapa kau tidak menjauh dariku seperti yang orang-orang lain lakukan?” tanyaku tanpa menatapnya. “Kenapa aku harus menjauhimu? Karena penyakitmu? Hei aku bukan orang yang berlebihan dalam memandang suatu masalah. Aku tidak akan takut tertular karena yang menentukan kita sedih atau bahagia, sehat ataupun sakit itu Tuhan.” jawabnya dengan senyum meyakinkan. “Aku pikir aku tidak akan pernah punya teman karena penyakit menjijikkan ini.”.  “Tenang saja. Kita akan tetap berteman.” Bahagia sekali rasanya ada seorang saja yang mau menerima keadaanku ini.
            “Shabira!! Sedang apa kau disini?” tanya seorang anak yang membuatku terkejut. “Ternyata kau Elsa. Ya aku sedang menebus obat. Aku merasa sedikit demam.” giliranku dipanggil aku buru-buru menghampiri meja apoteker, aku tidak mau giliranku terlewatkan dan harus menunggu lama lagi. “Giliranku. Sampai jumpa!”.
            Pukul 06:10 aku sudah berada di ruang kelas yang masih sepi. Dengan semangat aku memulai hari ini, karena hari ini aku mempunyai teman yang mau menerima kondisiku. Aku berdiri di depan pintu kelas. Elsa datang dan menatapku aneh. “Halo Elsa.” Aku coba untuk menyapanya tapi ia tidak menghiraukannya. Ah mungkin ia sedang ada masalah.
            Saat pelajaran berlangsung semua murid sibuk berbisik-bisik entah apa yang mereka bicarakan sampai mereka semua tidak memperhatikan Pak Tama yang sedang mangajarkan mata pelajaran matematika. “Hei Don apa yang mereka bicarakan?” tanyaku sedikit berbisik juga pada Donny yang berada tepat di depan mejaku. “Hm.. entah, aku tidak bisa mendengar suara bisik-bisik yang seperti suara ular  itu.”
            Tepat sepulang sekolah aku langsung menemui Donny di gerbang sekolah. Semua anak di kelas tahu tentang penyakit HIV yang kuderita, entah dari mana mereka mengetahuinya, sementara yang tahu tentang penyakitku hanyalah Donny. “Kau tahu kenapa semua anak di kelas memandangku aneh hari ini?” tanyaku sinis ketika berhenti tepat di depannya. “Hmm.. Mereka sudah tahu soal penyakit itu.” jawabnya lemas. “Apa kau yang memberi tahu mereka semua?”. “Tidak, bahakan aku tak pernah membicarakanmu dengan teman-temanku.”. “Tapi hanya kau yang tahu semua ini!”. “Percayalah aku bukan orang yang suka membuka aib orang lain.” Donny meyakinkan diriku, tatapannya tajam seolah dia tidak ingin dituduh sembarangan. “Baiklah aku percaya denganmu.” ujarku mereda. Bodoh sekali aku jika harus marah kepada Donny sedangkan ia tidak tahu apa-apa dan hanya dia satu-satunya teman yang kupunya.
            Hari demi hari berlalu begitu saja. Hanya Donny yang mau menjadi temanku. Setidaknya aku masih punya teman. Tapi lama kelamaan aku mulai lelah dengan semua ini. Semua orang selalu membicarakanku, mereka menganggapku bukan anak baik-baik. Mereka menuduhku seorang pecandu narkoba, pelaku seks bebas, dan semua hal yang buruk ditudukan padaku. Saat ini aku benar-benar merasa didiskriminasi dan dikucilkan dan itu semua membuatku ingin mati. Menangis dan meberontak tak ada gunanya, mereka tidak akan peduli. Tolong aku....
            “Nak kau terlihat murung sekali akhir-akhir ini. Apa masalahmu?” tanya ibu lembut  ketika aku sedang duduk diam di bangku belajar. “Ibu bertanya apa masalahku? Aku terlahir di dunia ini!! Itu masalahku. Aku terlahir dari pasangan pengidap HIV. Ayahku sosok yang tidak baik, ia pecandu narkoba dan menularkan semua virus ini. Dan aku yang tidak mengetahui apa-apa harus ikut merasakan derita yang disebabkan penyakit menjijikkan ini. Aku benci dengan hidup ini. Semua orang memperlakukanku seperti sampah yang tidak berguna. Aku benci merasakan sakit ini. Aku benci merasakan tekanan batin ini. Aku benci Ayah! Sebenarnya untuk apa aku hidup?” air mataku tumpah saat meluapkan semua emosi ini. Aku tidak pernah bicara sekasar ini pada ibu. Terlihar air matapun mengalir dari pelupuk mata ibu. Ia diam sejenak menghela nafas dan tak lama ia tersenyum dalam tangisnya. “Nak kau hidup untuk diberitahu rasa penderitaan dan kebahagiaan. Jika kau menghadapi semua ini dengan sabar kau akan mendapat kebahagiaan yang besar kelak nanti. Sesungguhnya selalu ada kesenangan setelah kesusahan. Dan kesenangan itu akan lebih berharga karena kau telah merasakan kesusahan. Nak, Ibu juga sama sepertimu tapi Ibu menemukan kebahagiaan hiidup ini, yaitu mempunyai anak sepertimu. Apapun kondisimu kau adalah anugerah. Maafkan ibu jika tak bisa melahirkanmu dalam keadaan sehat.Janganlah kau benci Ayahmu seburuk apapun dia. Karena daun yang jatuh tidak pernah mebenci angin.” Ibu memelukku erat dan menangis. Sekarang aku mengerti.

            Sekarang sakit ini sudah semakin parah tapi aku tak pernah menyerah, aku bisa menemukan kebahagiaan dalam sakit ini. Aku yakin aku akan menemukan kebahagian yang luar biasa setelah ini, di dunia ini ataupun di alam sana nanti. Aku bisa menjadi motivator bagi orang lain. Dan sekarang aku mampu mengubah pandangan orang lain tentang figur seorang penderita HIV. Tidak ada sedikitpun dendam atau benci terhadap Tuhan, terhadap hidup ini, terhadap ayahku sekalipun. Karena daun yang jatuh tidak pernah membenci angin. Dan akulah daun yang jatuh itu.

0 komentar:

Posting Komentar