Aku terlahir dari pasangan pengidap
HIV.Penyakit itu telah membunuh ayahku dan sekarang aku adalah anak yatim yang
juga pengidap penyakit menjijikkan itu. Aku bingung kenapa orang-orang pengidap
HIV tidak pernah mendapat perlakuan baik dari masyarakat, selalu mendapat
diskriminasi dan dikucilkan dalam pergaulan, sehina itukah kami ?
Aku melirik lesu amplop berwarna
coklat yang kubawa dari rumah sakit bertuliskan ”Pasien Shabira Alsyakhra” di
dalamnya ada hasil tes yang menyatakan penyakit HIV yang kuidap sudah memasuki
stadium 2. Obat-obatan itu tidak
menyembuhkanku kadang aku benci harus meminumnya hanya untuk bertahan hidup.
“Hey Ibu sudah siapkan makan malam, cepatlah makan dan minum obatnya!”
terdengar suara ibu dari ujung pintu, akupun beranjak dan meninggalkan amplop
yang sama sekali tidak membawa kabar gembira itu. “Bagaimana sekolah baru hari
ini? Apa kau sudah mendapat teman baru?” tanya ibu di sela waktu makan. “Ya
tidak banyak.” jawabku singkat. “Cukup menyenangkan, ibu senang dipindah
tugaskan ke sini. Hmm.. Bandung kota yang cukup sejuk.” . “Ya cukup
menyenangkan selama penyakit ini tidak merusaknya.”. Ibu menghela nafas dan
tersenyum “Kau pasti bisa menjadi seperti anak normal lainnya nak, bahkan lebih
hebat.”. “Ya semoga saja.”
“Hai selamat pagi.” sapa seorang
anak lelaki yang aku lupa namanya siapa. “Selamat Pagi...,” aku berusaha
mengingat namanya. “Donny!” anak itu mengingatkan lagi namanya padaku seolah
dia telah membaca pikiranku kalau aku sedang berusaha mengingat namanya. “Hm..
Maaf aku belum terlalu hafal nama-nama kalian.” . “Tidak masalah, kami semua
akan berteman denganmu lama-lama kau pasti hafal.” Ya aku harap begitu
pikirku.
Jam pelajaran pertama diawali dengan
mata pelajaran olahraga, sialnya aku tidak membawa obat yang seharusnya aku
minum setiap akan berolahraga untuk menjaga kondisiku agar tidak mudah
kelelahan. “Hei Shab apa yang kau tunggu? Guru yang satu ini tidak suka ada
murid yang telat datang di pelajarannya. Ayo segera ke lapangan!” Wina sang
ketua kelas itu buru-buru menarikku keluar kelas. Kota ini memang sejuk, dengan
sedikit terik matahari pagi yang berbagi kehangatannya, ah cuaca yang sempurna
aku harap pelajaran ini akan kulewati dengan sempurna pula.
Yah aku tahu aku tetap kuat tanpa
obat, pelajaran olahraga kulewati tanpa kendala. Saat jam istirahat Farah
mengajakku ke kantin bersama Elsa, ternyata menyenangkan ada yang mengajakku
pergi ke kanti bersama, dulu saat aku masih bersekolah di Yogyakarta untuk
kerja kelompok pun orang jijik karena penyakitku, ada yang takut tertular ada
juga yang menganggapku bukan anak baik-baik karena aku adalah seorang penderita
HIV. Sering aku meberontak diperlakukan seperti itu tapi semua itu tidak ada
gunanya.
“Shab kau mau makan apa? “ tanya Elsa saat ia dan Farah akan memesan
makanan. “Aku tidak lapar. Aku hanya mau minum.” jawabku sambil tersenyum
ramah. “Baiklah.” mereka beranjak pergi untuk memesan makanan mereka sementara
itu aku segera mengeluarkan obat dari sakuku lalu meminumnya sebelum mereka
melihatku dan bertanya tentang obat ini. “Hei... Kau minum obat apa? Banyak
sekali?” aku tidak sadari kalau Donny duduk di belakang meja kami, oh tidak,
aku harus bilang apa soal obat ini? “Ehm.. Yang ini vitamin imun tubuh, yang
ini antibiotik, dan ini obat flu biasa. Aku memang sedang sedikit flu” jelasku
berusaha menutupi tentang obat ini. “Baiklah, kalau begitu semoga lekas
sembuh.” tanggapnya dengan senyum yang membuat lesung pipinya terlihat. Aku
beruntung hari ini.
Jam sekolah telah usai, hari ini
terasa begitu melelahkan. Aku berjalan keluar gerbang sekolah dan segera menuju
halte bus yang terletak sekitar 20 meter dari sekolah. Hari ini aku akan
mengunjungi ibu di rumah sakit kejiwaan. Aku ingin melihat bagaimana ibu bisa
bekerja dengan baik sebagai seorang psikolog. Selama ini aku hanya terlalu
sedih dan frustasi dengan penyakitku sehingga bagaimana pekerjaan ibuku pun aku
sama sekali tidak ingin tahu. Sekarang aku ingin mengubah sikapku, apa salahnya
aku berkonsultasi dengan ibuku sendiri. Kepalaku terasa sangat pusing, tubuhku
sangat lemas hingga akhirnya aku terjatuh.
Aku lihat seorang anak bertubuh
jangkung dan ia adalah Donny.“Sadar juga kau. Tadi aku menemukanmu pingsan di
pinggir trotoar, jadi aku segera membawamu ke rumah sakit terdekat.” Aku hanya
diam memikirkan apa yang barusan terjadi, aku pikir aku akan melewati hari ini
dengan begitu sempurna, “Soal penyakitmu..,” oh tidak hancurlah semuanya, “Aku sekarang mengerti mengapa kau
menutupi soal penyakitmu.” ujarnya
dengan mata lirih. “Jadi kenapa kau tidak menjauh dariku seperti yang
orang-orang lain lakukan?” tanyaku tanpa menatapnya. “Kenapa aku harus
menjauhimu? Karena penyakitmu? Hei aku bukan orang yang berlebihan dalam
memandang suatu masalah. Aku tidak akan takut tertular karena yang menentukan
kita sedih atau bahagia, sehat ataupun sakit itu Tuhan.” jawabnya dengan senyum
meyakinkan. “Aku pikir aku tidak akan pernah punya teman karena penyakit
menjijikkan ini.”. “Tenang saja. Kita
akan tetap berteman.” Bahagia sekali rasanya ada seorang saja yang mau menerima
keadaanku ini.
“Shabira!! Sedang apa kau disini?”
tanya seorang anak yang membuatku terkejut. “Ternyata kau Elsa. Ya aku sedang
menebus obat. Aku merasa sedikit demam.” giliranku dipanggil aku buru-buru
menghampiri meja apoteker, aku tidak mau giliranku terlewatkan dan harus
menunggu lama lagi. “Giliranku. Sampai jumpa!”.
Pukul 06:10 aku sudah berada di
ruang kelas yang masih sepi. Dengan semangat aku memulai hari ini, karena hari
ini aku mempunyai teman yang mau menerima kondisiku. Aku berdiri di depan pintu
kelas. Elsa datang dan menatapku aneh. “Halo Elsa.” Aku coba untuk menyapanya tapi
ia tidak menghiraukannya. Ah mungkin ia
sedang ada masalah.
Saat pelajaran berlangsung semua
murid sibuk berbisik-bisik entah apa yang mereka bicarakan sampai mereka semua
tidak memperhatikan Pak Tama yang sedang mangajarkan mata pelajaran matematika.
“Hei Don apa yang mereka bicarakan?” tanyaku sedikit berbisik juga pada Donny
yang berada tepat di depan mejaku. “Hm.. entah, aku tidak bisa mendengar suara
bisik-bisik yang seperti suara ular
itu.”
Tepat sepulang sekolah aku langsung
menemui Donny di gerbang sekolah. Semua anak di kelas tahu tentang penyakit HIV
yang kuderita, entah dari mana mereka mengetahuinya, sementara yang tahu tentang
penyakitku hanyalah Donny. “Kau tahu kenapa semua anak di kelas memandangku
aneh hari ini?” tanyaku sinis ketika berhenti tepat di depannya. “Hmm.. Mereka
sudah tahu soal penyakit itu.” jawabnya lemas. “Apa kau yang memberi tahu
mereka semua?”. “Tidak, bahakan aku tak pernah membicarakanmu dengan
teman-temanku.”. “Tapi hanya kau yang tahu semua ini!”. “Percayalah aku bukan
orang yang suka membuka aib orang lain.” Donny meyakinkan diriku, tatapannya
tajam seolah dia tidak ingin dituduh sembarangan. “Baiklah aku percaya
denganmu.” ujarku mereda. Bodoh sekali aku jika harus marah kepada Donny
sedangkan ia tidak tahu apa-apa dan hanya dia satu-satunya teman yang kupunya.
Hari demi hari berlalu begitu saja.
Hanya Donny yang mau menjadi temanku. Setidaknya
aku masih punya teman. Tapi lama kelamaan aku mulai lelah dengan semua ini.
Semua orang selalu membicarakanku, mereka menganggapku bukan anak baik-baik.
Mereka menuduhku seorang pecandu narkoba, pelaku seks bebas, dan semua hal yang
buruk ditudukan padaku. Saat ini aku benar-benar merasa didiskriminasi dan
dikucilkan dan itu semua membuatku ingin mati. Menangis dan meberontak tak ada
gunanya, mereka tidak akan peduli. Tolong
aku....
“Nak
kau terlihat murung sekali akhir-akhir ini. Apa masalahmu?” tanya ibu
lembut ketika aku sedang duduk diam di
bangku belajar. “Ibu bertanya apa masalahku? Aku terlahir di dunia ini!! Itu
masalahku. Aku terlahir dari pasangan pengidap HIV. Ayahku sosok yang tidak
baik, ia pecandu narkoba dan menularkan semua virus ini. Dan aku yang tidak
mengetahui apa-apa harus ikut merasakan derita yang disebabkan penyakit
menjijikkan ini. Aku benci dengan hidup ini. Semua orang memperlakukanku
seperti sampah yang tidak berguna. Aku benci merasakan sakit ini. Aku benci
merasakan tekanan batin ini. Aku benci Ayah! Sebenarnya untuk apa aku hidup?”
air mataku tumpah saat meluapkan semua emosi ini. Aku tidak pernah bicara
sekasar ini pada ibu. Terlihar air matapun mengalir dari pelupuk mata ibu. Ia
diam sejenak menghela nafas dan tak lama ia tersenyum dalam tangisnya. “Nak kau
hidup untuk diberitahu rasa penderitaan dan kebahagiaan. Jika kau menghadapi
semua ini dengan sabar kau akan mendapat kebahagiaan yang besar kelak nanti.
Sesungguhnya selalu ada kesenangan setelah kesusahan. Dan kesenangan itu akan
lebih berharga karena kau telah merasakan kesusahan. Nak, Ibu juga sama
sepertimu tapi Ibu menemukan kebahagiaan hiidup ini, yaitu mempunyai anak sepertimu.
Apapun kondisimu kau adalah anugerah. Maafkan ibu jika tak bisa melahirkanmu
dalam keadaan sehat.Janganlah kau benci Ayahmu seburuk apapun dia. Karena daun yang jatuh tidak pernah mebenci
angin.” Ibu memelukku erat dan menangis. Sekarang aku mengerti.
Sekarang
sakit ini sudah semakin parah tapi aku tak pernah menyerah, aku bisa menemukan
kebahagiaan dalam sakit ini. Aku yakin aku akan menemukan kebahagian yang luar
biasa setelah ini, di dunia ini ataupun di alam sana nanti. Aku bisa menjadi
motivator bagi orang lain. Dan sekarang aku mampu mengubah pandangan orang lain
tentang figur seorang penderita HIV. Tidak ada sedikitpun dendam atau benci
terhadap Tuhan, terhadap hidup ini, terhadap ayahku sekalipun. Karena daun yang jatuh tidak pernah membenci
angin. Dan akulah daun yang jatuh itu.